agenlistrikprabayar

Agen Listrik Prabayar Your Internet Cash Generator


Selasa, 04 Oktober 2011

SRI KARANG BUNCING: ASAL USUL TREH SRI KARANG BUNCING

SRI KARANG BUNCING: ASAL USUL TREH SRI KARANG BUNCING

KEBO IWA SRI KARANGBUNCING

Dalam sejarah Bali Kuno, Kebo Iwa adalah tokoh sentral yang disegani banyak orang, sejak dulu, hingga kini. Ia ikon Bali, karena siapa saja yang hendak mengkaji Bali zaman dulu pasti bersua dengan nama Kebo Iwa, sosok yang digambarkan tinggi besar, sangat kuat, pemberani, dan murah hati.
Kisah hidup Kebo Iwa semakin menjadi kajian menarik karena dihubungkan dengan taktik politik dan siasat Mahapatih Majapahit, Gajah Mada. Ketika menundukkan Bali, untuk memersatukan Nusantara. Bagi Gajah Mada, Bali hanya bisa ditaklukan dengan meruntuhkan bentengnya. Dan benteng itu adalah Kebo Iwa.
Jika orang-orang Bali masa kini memimpikan tokoh pahlawan, sosok Kebo Iwa acap muncul, dan menjadi idola, karena ia teguh, teduh dan jujur. Kehidupan Kebo Iwa menarik perhatian seluruh kalangan, karena ia memilih hidup melajang sampai akhir hayat, hingga tewas akibat korban tipu muslihat di tanah jawa. Hidupnya dilumuri ketakwaan dan pengabdian kepada tanah tumpah darah dan leluhurnya.
Kebo Iwa, yang bertempat tinggal di Blahbatuh, baratdaya kota Gianyar, adalah putra dari Sri Karang Buncing, Selain sosok patih sakti, ia juga dikenal sebagai arsitek (undagi). Banyak bangunan kuno hasil karyanya, terutama dibidang irigasi, bisa dirunut jejaknya hingga sekarang. (sumber: Kebo Iwa dan Sri Karang Buncing, Dalam Dinasti Raja-Raja Bali-Kuno penulis I Made Bawa)

Kamis, 14 Juli 2011

Sabtu, 02 Juli 2011

KULIT ULAR PYTON


Dengan boomingnya aksesori yang menggunakan bahan dasar kulit ular pyton di pasaran eropa, pengrajin Bali yang bergelut usaha souvenir tas, dompet, jaket, ketiban rejeki. Banyak order utk export ke eropa.. akan tetapi yang menjadi kendala adalah seretnya bahan baku. Biasanya penyuplai bahan baku Kulit Ular Pyton dari Sumatra, Kalimantan, dan Pulau Jawa mulai kewalahan juga.
Bahan Baku Kulit Ular Pyton yang di jual sudah siap jarit, ada beberapa jenis kulit Ular pyton yaitu Kulit Ular Pyton Batu dan Kulit Ular Pyton Sanca, untuk harga per meternya lebih mahal Kulit Ular Pyton Batu, karena lebih panjang-panjang. Adapun ukuran yang dipergunakan yaitu Lebar 20cm dan Panjang dari 1,5 mtr ke atas, Utk ular pyton batu bisa mencapai 8 meter.
 untuk para pemasok Kulit Ular pyton, kami siap menjadi pemasar produknya utk wilayah bali, bisa contact 087863183211, Nyoman Aryawan, email : nyoman.aryawan@yahoo.com atau blog kami : http://www.bintangnett.blogspot.com, Misi kami adalah Saling mneguntungkan.

Minggu, 24 April 2011

SAPUT POLENG


Filosofi Saput Poleng
Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang beraneka ragam budaya dan tradisi masyarakat. Negara kita merupakan bangsa majemuk dengan penduduk sekitar 210 juta jiwa. Kebhinekaan memang merupakan kekayaan dan sumber kekuatan bangsa, namun harus kita akui bahwa kebhinekaan juga mengandung kerawanan jika kita tidak pandai menjaganya. Sepanjang perjalanan sejarah bangsa Indonesia semenjak berabad-abad yang lalu, bangsa kita pernah menjadi kelinci percobaan penjajah yang dengan mudahnya di adu domba. Dengan beragamnya dimensi sosial yang ada dan tumbuh berkembang di masyarakat menyebabkan semakin lebarnya jurang pemisah di antara segenap insan sosial. Akankah hal ini terulang kembali? Tentunya tidak bukan! Sebagai mahluk sosial, manusia tidak bisa melepaskan komunikasi dan hubungan pergaulan terhadap sesama. Pada tatanan ini akan terjadi proses pembaruan yang tidak mungkin dihindari. Dipertegas lagi bahwa Hyang Widhi yang Maha Pencipta tidak pernah menciptakan sesuatu yang sama. Mahluk ciptaan-Nya berupa manusia diwarnai dengan kemajemukan. Terlihat dari warna kulit, ras, suku, golongan, bangsa, bahasa, dan agama. Seseorang yang beragama Hindu, misalnya pasti akan bergaul dengan pemeluk agama yang lain. Proses ini merupakan hal yang wajar dan alami. Interaksi plurastik terjadi dan dapat dipastikan semua agama mengakuinya.
Dewasa ini kehidupan manusia dihadapkan pada permasalahan menyangkut hak asasi manusia, etnis, dan agama.. Kondisi ini menyebabkan panilaian terhadap manusia cenderung manganggap sesama manusia berbeda hanya karena perbedaan itu semua. Dalam hal ini kearifan umat Hindu menyodorkan solusi mencari jalan keluar memecahkan masalah tersebut.
Agar hipokrit (munafik sosial) kehidupan beragama tidak berlanjut, dituntut kesadaran semua pihak untuk dapat saling bertoleransi satu sama lain. Pendidikan merupakan faktor penting untuk menumbuhkan kesadaran itu. Mendidik dengan mengandalkan kata-kata saja tentu kurang menarik, karena itu diperlukan media pendidikan untuk menyampaikan pesan-pesan. Pesan dapat berupa nilai, yaitu suatu acuan yang digunakan untuk berpikir dan bertindak. Salah satu penerapannya ialah dengan memanfaatkan kearifan local dari falsafah Hindu yang ada di Bali, yaitu saput poleng sebagai medianya. Saput poleng adalah selembar kain bercorak kotak-kotak dengan warna putih dan hitam seperti papan catur.
Menurut tradisi ada tiga jenis saput poleng, antara lain meliputi:
1. saput poleng saput Rwa Bhineda
2. saput poleng Sudhamala
3. saput poleng Tridatu
Saput poleng Rwa Bhineda berwarna putih dan hitam. Warna gelap (hitam) dan terang (putih) merupakan suatu cerminan dari dharma dan adharma.
Saput poleng Sudhamala berwarna putih, hitam, dan abu. Abu sebagai peralihan dari warna hitam dan putih yang mengantarai keduanya. Artinya menyelaraskan simfoni dharma dan adharma.
Saput poleng Tridatu berwarna putih, hitam, dan merah. Merah merupakan simbol rajas keenergikan, hitam adalah tamas (kemalasan) dan putih simbol satwam (kebijaksanaan, kebaikan).

Saput poleng sebagai simbol masyarakat Hindu di Bali digunakan oleh para pecalang (perangkat keamanan), patung penjaga pintu gerbang, dililitkan pada kul-kul atau kentongan, dikenakan oleh balian atau pengobat tradisional, dihiaskan pada tokoh-tokoh ithiasa (Merdah, Tualen, Hanoman, dan Bima), dikenakan oleh dalang wayang kulit ketika melaksanakan pangruwatan atau penyucian, dililitkan pada tempat suci yang diyakini berfungsi sebagai penjaga. Pada intinya saput poleng digunakan sebagai simbol penjagaan.
Implementasi falsafah ini dapat memberikan kita sebuah cerminan yang terimplikasi terhadap kehidupan beragama.

Warna putih yang secara umum merupakan suatu simbolik dari satwam yang secara umum merupakan suatu simbolik dari kekuatan dharma yang sudah sepatutnya memberikan cerminan kepada kita bahwa dalam hidup beragama kita harus memegang teguh prinsif dharma yang senantiasa memberikan kedamaian. Hal ini tercermin dari sikap toleransi untuk menghindari kemunafikan sosial (hipokrit sosial) yang ujung-ujungnya mengakibatkan perpecahan diantara kita semua.
Dalam Rg. Veda X.191. 3-4 menyatakan bahwa pada hakekatnya semua manusia adalah bersaudara. Vasudaiva Kutumbakam, semua mahluk adalah bersaudara. Persaudaraan umat manusia ini disebabkan oleh satu asal dan kembalinya bagi setiap mahluk dan alam semesta, sama-sama menikmati kehidupan di karibaan bumi pertiwi tercinta, oleh karena itu Tuhan Yang Mahaesa, Sang Hyang Widhi mengamanatkan kepada kita untuk hidup dalam suasana damai penuh kebahagiaan dalam persaudaraan yang sejati.
Warna hitam merupakan simbolik dari tamas (kemalasan) yang merupakan kekuatan adharma yang senantiasa ada jika dharma ada dan ini merupakan suatu hukum ilahi yang senantiasa berjalan terus. Kekuatan adharma tidak sepatutnya disalah-kaprahkan, namun seharusnya kita mengontol diri kita agar tidak membuat suatu tindakan yang dapat memprovokasi orang lain.

Disamping itu pula, warna abu pada saput poleng memberikan suatu implemtnasi terhadap suatu penyelarasan antara kekuatan dharma dan adharma. Jadi sikap seperti ini merupakan suatu cerminan sikap toleransi kehidupan beragama yang memberikan keselarasan dari sisi baik dan buruk.

Warna merah merupakan simbol keenergikan (rajas) yang semestinya kita cerminkan terhadap semangat untuk membina kerukunan umat beragama. Bukannya semangat yang kita miliki dipergunakan untuk mengompori semua perbedaan yang akhirnya akan membakar dan membawa kita ke abu keharmonisan. Setiap permasalahan yang muncul bila semakin dikompor-kompori, maka akan semakin parah. Untuk itulah, keenergikan tersebut jangan sampai disalahgunakan dalam suatu hal yang tidak baik.
Seperti yang termuat Atharvaveda, XII.1. 45 dinyatakan : “Beberapa pengucapan bahasa yang berbeda-beda dan pemeluk agama yang berbeda-beda pula dan sesuai dengan keinginan. Mereka tinggal bersama di bumi pertiwi yang penuh keseimbangan tanpa banyak bergerak, seperti sapi yang selalu memberikan susunya kepada manusia. Demikian juga ibu pertiwi selalu memberi kebahagiaan melimpah pada semua umat manusia”.
Terungkap juga dalam Weda Sruti : “Seseorang yang menganggap seluruh umat manusia memiliki atma yang sama dan dapat malihat semua manusia sebagai saudaranya, orang tersebut tidak terikat dalam ikatan dan bebas dari kesedihan” (Yayurweda, 40.7).
Kedua mantra tersebut dengan sangat gamblang menyatakan bahwa manusia hidup di lingkungan majemuk dapat tinggal dalam keharmonisan. Juga, memberikan kearifan pada umat dalam menyikapi persepsi manusia berbeda karena warna kulit, ras, etnis, dan agama adalah sebuah keluarga besar. Artinya tidak hanya satu agama yang diagungkan, dijayakan, tetapi semua agama dipandang sebagai kebenaran. Semua berhak hidup di bumi pertiwi ini. Kemajemukan tersebut seperti pelangi berwarna-warni ciptaan Tuhan.

Sangat indah dan menyejukkan sehingga mampu menumbuhkan kedamaian hati umat manusia. Kemajemukan tidak untuk dipertetangkan karena kemajemukan adalah keharmonisan dan keindahan, bukan kekacuan atau kesemrawutan. Spritualitas kearifan ini dalam diri manusia adalah sama. Di samping itu semua umat manusia berkeinginan hidup berdampingan secara damai di muka bumi pertiwi yang kita cinta ini. Jika spritualitas ini dapat dijalankan sebagai landasan berpikir dan pola tindakan, maka manusia akan melupakan perbedaan yang ada dan sekaligus tidak mempertentangkan perbedaan tersebut. Hal ini sangat relevan dan arif dalam kehidupan bangsa Indonesia yang sangat kental warna kemajemukan yang diwarnai oleh beragamnya kehidupan masyarakat.

Nilai-nilai filosofis yang demikian tinggi dalam saput poleng dapat dijadikan cermin dalam mempertahankan kerukunan kehidupan beragama. Hal tersebut perlu diterapkan agar kita semua terhindar dari hipokrit sosial yang dapat memecah belah kita semua. Keinginan (rajas) yang tak terbatas agar diimbangi sifat mengerem (tamas) serta dikontrol dengan kebijaksanaan (satwam). Keseimbangan rajas dan tamas yang didominasi satwam secara perlahan akan meningkatkan harkat kemanusiaan (Manawa) dan sifat keraksasaan (danawa) menuju sifat kedewataan (madawa). Dan semoga kita semua diberikan kedamaian…